Rabu, 19 Agustus 2020

 Selasa, 18 Agustus 2020 habis magrib.

Ibu dan dipta lagi makan nasi kuning di dalam kamar. Baru berapa kali suap, ibu denger Rongrong ngeong lumayan keras. Ibu datangi ke dapur, dia pindah ke atas keset. Ibu elus, dia respon sebentar. Ngga lama dia muntah air banyak banget. Mukanya sudah kayak kucing linglung. Dia berdiri berusaha jalan ke arah wc nya. Ibu bilang kalau mau pipis dilantai aja, nanti ibu lap. Dia rebahan lagi, nggak lama ngeong lagi. Beberapa kali ngeong setiap dielus, dan akhirnya rebahan samping. Ibu sudah ngerasa kalau ini waktunya..

"Rong, kalau nggak kuat nggak papa, ibu iklhas. Mas dipta sama ibu sayang rongrong. Nanti rongrong nggak sakit lagi disana. Ibu makasih banyak kamu percaya tinggal di sini sama ibu. Ibu iklhas.."

Sambil nangis saya beusaha ngomong supaya dia pergi dengan tenang. 

Cepet banget prosesnya. Mungkin sepuluh menit. Sesekali ngeong, napasnya sengal-sengal. Kakinya beberapa kali nendang nahan sakit mungkin. Segitu cepetnya, sampai saya nggak sadar kalau itu napas terakhirnya. Tapi nggak papa, memang itu yg saya doakan buat dia. Tanpa sakit yg berkepanjangan, sebentar aja, dan seperti itu dia perginya. 


Preman kampung itu pun pensiun.

Jagoan ibu pulang dulu.


Saya bisikim ke telinganya.. "nanti kita ketemu lagi. Bantu ibu nanti ya nak.."



Jumat, 14 Agustus 2020

 Ini rong-rong, dulu namanya anak kos baru. Badannya besar, lebih besar dari pak gonggong. Ibu dan dipta heboh waktu dia masuk ke rumah cibon. Badan besar, petarung, tapi hati hello kitty. Nggak pernah nyakar, nggak galak, tapi diluar selalu jadi preman kampung. Kalau dipanggil selalu cuek, bikin ibu meleleh. Punya anak orang kontrakan nggak jauh dari cibon, katanya dulu juga nemu pas dia kecil. Nggak setiap hari juga dia mampir rumah, kayaknya kalau kebetulan lewat. Pernah satu kali saya bangun siang sekitar jam 7 pagi, saya buka jendela, dan dia sudah ada di depan jendela dengan muka yg super nelongso. Walau pun petarung dan ditakuti banyak kucing liar, dia nggak pernah sekali pun ngajak kelahi kucing ibu. Malah dia bakal mundur, atau minggir kalau papasan sama anak cibon. Ibu acungi jempol, karena dia tau sopan santun dan tau kapan harus ngeluarkan taringnya.


Kurang lebih sebulan ini, sesekali dia tidur di rumah setiap malamnya. Ibu suka-suka aja, nggak berpikiran macam-macam. Sampai setiap hari dia di rumah, dari pagi sampai malam. Dan dua minggu ini nggak mau keluar rumah. Selalu minta makan, dan ibu liat perutnya semakin buncit. Ibu kira dia cacingan, ibu kasih dia obat cacing. Obatnya nggak dimuntahin, semua ketelen, dia anak pinter.


Badannya semakin kurus, perutnya makin buncit. Ibu bawa ke dokter, dan katanya isi perutnya cairan. Intinya dia sakit FIP dan nggak bisa sembuh. Sebelum ke dokter ibu sudah duga, tapi ibu "menyangkal" secara halus lewat doa setiap habis sholat. Awalnya ibu doa supaya dia bisa sembuh, tapi makin kesini ibu sadar dia nggak bakal sembuh. Ibu putar haluan dengan doa yg sedikit susah diucapkan.


"Ya Allah, berika yg terbaik utnuk rong-rong. Hamba tau dia nggak bakal bisa sembuh, setidaknya dia tau apa rasanya punya keluarga, rasanya punya hooman. Jangan biarkan dia sakit terlalu lama.."


Kadang dijalan kalau liat kucing jalanan yg sehat, saya mikir kenapa nggak mereka aja yg sakit dan rong-rong sehat? Saya jahat, ya? Saya takut, saya nggak maksud doakan dia supaya cepet mati? Saya nggak pengen gitu, tapi saya nggak kuat liat dia makin nggak mau makan. Saya elus, saya selalu ngajak dia ngobrol. Saya bilang makasih banyak karena percaya sama ibu, waktu dia sakit.


Saya cuma bisa pasrah, saya ngga tau harus apa. Saya nggak paksa dia makan, karena tau itu bakal bikin dia sakit. Saya biarkan apa yg dia mau, saya biarkan dia tidur dimana aja. Saya pengen dia tau kalau nggak semua manusia jahat. Setidaknya bertahun-tahun hidup di jalan, sekarang waktunya buat dia pulang ke rumahnya.


Ibu cuma mau bilang, makasiiiih rong-rong "nginap" di rumah ibu sampai sekarang. Makasih rong-rong percaya sama ibu. Makasih sudah jadi petarung yg memiliki sopan santun dan tata krama. Ibu bangga, nak...